Jangan mau "hijrah" ke kota

[caption id="attachment_1480" align="alignleft" width="300" caption="kota palu dilihat dari atas, masih belum padat penduduknya dan peluang masih terbuka lebar"][/caption]

Di alun-alun ciamis kalau mau berjualan cukup ngasih 1000/hari dan bayar keanggotaan 75rb seumur hidup.

Di toli-toli, kota yang gelap karena di jalan protokolnya tidak ada penerangan jalan, makan nasi + ayam penyet + es jeruk harus bayar 21rb/porsi dengan rasa yang jauh dari maknyus

Di ambon cukup membayar 15rb-25rb untuk pangkas rambut di sebuah gardu ronda dengan ac alam dan penerangan yang dominan dari Yang Maha Kuasa alias lampu merk Matahari

Di kaki gunung rinjani di Lombok, pada tahun 93 saya melihat ada 1 warung yang menjual segala macam barang untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang sebagian besar adalah petani bawang

Di setiap lereng gunung dimanapun selalu ada warung yang menjual minuman hangat dan mie instan

Di Denpasar bagian pinggir, tanah harganya 2jt/m2 dan di pantai kuta banyak orang-orang yang menawarkan pijat dan memilin rambut

Arti dari semua itu adalah bahwa peluang di semua daerah selalu ada, tidak perduli daerahnya sangat sepi seperti di Toli-toli atau daerah surga seperti di Bali.

[caption id="attachment_1482" align="alignleft" width="300" caption="pusat kota toli-toli di siang hari"][/caption]

Tidak ada alasan bagi pemuda pemudinya untuk pindah ke kota atau harus jadi babu di negeri orang demi mendapatkan seraup kertas yang disebut uang

Cukup memenuhi kebutuhan masyarakat sekitar dengan modal awal seadanya maka langkah ini bisa menjadi sebuah bisnis untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Jangan pergi ke Jakarta, jangan pergi ke kota besar lainnya karena sudah sangat-sangat tidak nyaman untuk ditempati. Cukup jadi raja di daerah asal sambil merajut mimpi menjadi kaisar di sebuah negeri yang besar.

Salam sukses dunia akherat,
Rawi Wahyudioni